26 March 2008

Arti Kemerdekaan Menurut Moh. Nuh.

Disaat memperingati Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke 62, ada sejumlah pendapat dari Menteri Komunikasi dan Informatika, Moh. Nuh, tentang arti kemerdekaan, khususnya dikaitkan dengan tugas dan fungsi Departemen Komunikasi dan Informatika.

Departemen Komunikasi dan Informatika mempunyai tugas membantu Presiden dalam menyelenggarakan sebagian urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika, dan menyelenggarakan fungsi antara lain, perumusan kebijakan nasional, kebijakan pelaksanaan, dan kebijakan teknis di bidang komunikasi dan informatika yang meliputi pos, telekomunikasi, penyiaran, teknologi informasi dan komunikasi, layanan multimedia dan diseminasi informasi.

Bidang Teknologi

Kita sesungguhnya memang belum merdeka dan rasanya sulit dalam waktu dekat kita bisa benar-benar merdeka, terbebas dari ketergantungan bangsa lain didalam penguasaan teknologi. Oleh karena itu, kemandirian dalam bidang teknologi dan bidang-bidang yang lain masih sangat relavan untuk selalu dikumandangkan.

Kemandirian tersebut, bukan berarti kita tidak membutuhkan teknologi yang dikuasai oleh bangsa lain, tapi inisiatif didalam penguasaan, pengembangan dan penerapannya berada di tangan kita. Di bidang teknologi, rasanya ketergantungan yang kita alami selama ini lebih banyak dikarenakan pada tiga hal pokok:

1. Jumlah sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) belum melampaui critical mass yang dibutuhkan.
2. Di tengah keterbatasan itu kita belum fokus di dalam mengembangkan teknologi hingga sampai pada siklus yang mampu memberikan, meningkatkan nilai tambah ekonomi. Pengembangan teknologi yang difokuskan pada ketersediaan sumber daya (resources based technology) menjadi keharusan.
3. Masih sering terjadinya tumpang tindih yang tidak perlu (un necessary overlapping) dalam mengorganisasikan potensi dan sumber daya untuk pengembangan teknologi, termasuk antar perguruan tinggi dan lembaga-lembaga pemerintah non departemen. Menghindari tumpangtindih ini, berarti melakukan optimasi potensi dan sumber daya yang dimiliki.

Pada tiga hal pokok inilah maka diperlukan ”politik kebijakan” didalam menentukan arah pengembangan dan penguasaan teknologi ke depan. Tanpa adanya ”politik kebijakan”, maka para peneliti atau pengembang teknologi bisa jadi akan mengembangkannya semata-mata didasarkan pada aspek intuitif belum merasuk ke aspek-aspek rasionalitas termasuk di dalamnya aspek ekonomi dan ketersediaan sumber daya.

Ada tiga pilar penting yang harus dikuasai ketika kita berkeinginan untuk mengembangkan iptek.

1. Sebagai sebuah hasil rekayasa, maka iptek begitu luas, karena itu sebagai bangsa kita harus mencari terlebih dahulu teknologi mana yang tepat dan sesuai dengan sumber daya (resources) yang dimiliki, atau orang lebih sering menyebut dengan istilah resources based technology.
2. Pemahaman bahwa penguasaan dan pengembangan teknologi saat ini, tidak harus dimulai dari nol. Artinya, kita bisa mengambil teknologi-teknologi yang sedang ada di pasar untuk dikembangkan sesuai dengan kebutuhan yang kita miliki. Karena itulah di dalam mengambil teknologi-teknologi yang sedang berkembang, kita tidak boleh sekadar menjadi bangsa pengagum, tetapi kekaguman itu harus menjadi sumber inspirasi, agar kita menjadi bangsa yang dikagumi oleh bangsa lain.
3. Penguasaan technology icon menjadi sebuah keharusan. Melihat pengalaman dengan pendekatan antropologis, setiap fase masyarakat itu selalu ada yang namanya technology icon, suatu teknologi yang sifatnya generik, general puropse, yang semua aspek atau bidang dalam kehidupan memakai teknologi tersebut.

Dalam sejarah perjalanan bangsa-bangsa di dunia, mereka yang maju atau modern termasuk sejahtera dalam ukuran ekonomi, pasti mereka memulainya dengan menguasai teknologi generik tadi. Dalam bahasa lain, kalau suatu bangsa tidak menguasai technology icon, sudah pasti ketidakberhasilan untuk memberikan manfaat dan kesejahteraan pada masyarakatnya makin kecil.

Kini memasuki abad ke-21 dimana ikon teknologinya adalah Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) atau Information and Communication Technolog (ICT), dimana untuk menguasainya, intelectual capital lebih dominan, sehingga kata kuncinya adalah ketersediaan SDM yang berkualitas. TIK sebagai teknologi memiliki ciri khas yang sangat berbeda dengan banyak teknologi sebelumnya, dimana tidak selalu identik dengan modal finansial besar, tapi modal kekayaan intelektual adalah lebih penting dan lebih dominan. Ini memberikan banyak kesempatan bagi kita sebagai negara berkembang untuk dapat menarik manfaat maksimal dari TIK karena penghalangnya rendah.

Di samping itu, TIK memiliki daur hidup (life cycle) yang lebih pendek yang menyebabkan diperlukan waktu belajar lebih singkat, sehingga memungkinkan untuk dalam jangka pendek telah sampai pada tingkatan persaingan yang lebih tinggi asal diprogram dan dilaksanakan dengan baik yang memungkinkan terjadinya inovasi.

Selain itu, kita bisa melihat banyak negara berkembang yang telah berhasil mengeksploitasi ciri khas TIK dan membuat negara tersebut menjadi pemain TIK kelas dunia yang diperhitungkan dalam waktu relatif singkat, dan telah berhasil menjadikan TIK sebagai ekspor unggulan mereka. Kita berharap, melalui penguasaan ikon teknologi saat ini (TIK), kita dapat benar-benar mencapai kemerdekaan dalam arti sesungguhnya, dengan cara apa?

Dengan cara menyikapi TIK, sebagai sebuah peluang yang bisa dikuasai oleh bangsa kita, oleh karena itu TIK tidak selayaknya dipandang sebagai suatu sektor terpisah dengan penanganan khusus yang terfokus pada definisi teknologinya.

Sikapilah TIK sebagai suatu penggerak (driver) dan penyangga (supporter) yang harus digunakan demi tumbuhnya sektor-sektor unggulan yang dimiliki suatu negara. Program terhadap TIK bagi suatu negara berkembang seperti Indonesia harus dinyatakan secara seimbang antara TIK sebagai suatu teknologi dan TIK sebagai driver-supporter kegiatan ekonomi-sosial-hukum-budaya. Inilah kuncinya penguasaan teknologi ke depan.

Lalu apa yang harus dikembangkan ke depan berkait dengan TIK? Melalui Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo) melaksanakan program-program yang memiliki visi pada terwujudnya terwujudnya penyelenggaraan komunikasi dan informatika yang efektif dan efisien menuju masyarakat informasi yang sejahtera dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Melalui visi itu, Depkominfo sebagai departemen yang diberikan tugas pokok dan fungsi mengembangkan TIK, memiliki program yang disebut information accsesibility, informasi dapat diberikan dan diakses dengan mudah. Untuk mencapai semua itu perlu beberapa syarat, yaitu ketersediaan infrastruktur, keterjangkauan harga (affordability) dan kesiapan masyarakat dalam menerima teknologi informasi tersebut. Inilah kiranya hal yang harus terus dikembangkan ke depan, untuk menuju kemerdekaan di bidang TIK.

Bidang Pers

Kemerdekaan pers pada era globalisasi dan reformasi, telah menghendaki adanya perubahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, utamanya tuntutan masyarakat untuk berekspresi, mengeluarkan dan menyatakan pendapat serta berserikat/berorganisasi dan sebagainya. Tetapi kemerdekaan atau kebebasan pers tersebut bukanlah sesuatu yang absolut, sebab UU Pers sendiri menegaskan bahwa dalam melaksanakan fungsi dan kewajibannya, pers menghormati hak asasi seseorang, sehingga pers dituntut untuk profesional, terbuka dan dikontrol oleh masyarakat.

Pers dalam mengawal demokrasi senantiasa harus memberikan pencerahan kepada masyarakat melalui berbagai informasi yang disajikan dan bermanfaat bagi masyarakat. Transparansi mampu ditransformasikan kepada masyarakat, utamanya pers dalam mengontrol jalannya lembaga-lembaga negara yang pada umumnya mengeluarkan berbagai kebijakan publik dan layanan publik seperti perizinan, peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kepentingan publik. Di sisi lain peranan pers harus mampu memberikan peluang, dan mendorong tumbuh kembangnya masyarakat madani.

Masalah dan kendala yang terjadi dalam kehidupan pers pada saat ini adalah masih rendahnya mutu jurnalistik dikarenakan kemampuan dan keterampilan wartawan, sehingga diperlukan kompetensi standard yang disusun dan ditetapkan oleh kalangan/komunitas pers itu sendiri dengan memperhatikan kepentingan masyarakat. Selain itu, agar wartawan menjadi profesional harus mentaati dan melaksanakan kode etik jurnalistik dan patuh melaksanakan hukum atau peraturan perundang-undangan di bidang pers dan peraturan perundangan terkait lainnya.

Sebagai solusi untuk mengatasi permasalahan kemerdekaan pers antara lain diperlukan program dan kegiatan literasi, advokasi, dan sosialisasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pers. Dengan maraknya kasus-kasus tindak pidana yang berkaitan dengan pers dan tidak dapat diputuskan melalui UU Pers, maka diperlukan penyempurnaan regulasi tersebut yang mengatur tentang delik pers dan mekanisme perbuatan yang melanggar hukum terkait profesinya, sehingga secara khusus akan tunduk pada regulasi tersebut. Dengan demikian regulasi di bidang pers menjadi lex specialis dan KUHP sebagai lex generalis.

Di sisi lain, iklim kebebasan pers atau kemerdekaan pers setelah reformasi, telah pula mendorong terhadap munculnya bias informasi yang disampaikan oleh beberapa media terhadap program dan kebijakan pemerintah.

Memang ada pintu untuk meluruskan bias informasi itu, dengan menggunakan hak jawab terhadap sesuatu yang telah disampaikan kepada khalayak, tapi rasanya tidaklah cukup, karena dalam ilmu komunikasi berlaku hukum: informasi yang pertama diterima khalayak, itulah yang diakui kebenarannya, sementara upaya untuk meralat atau meluruskan berita hanyalah upaya ”rekayasa”.

Berkait dengan pemberitaan di media massa beberapa waktu lalu tentang beredarnya draf revisi Undang-Undang Pers No. 40 Tahun 1999, yang banyak menjadi bahan pembicaraan masyarakat, kiranya perlu ditegaskan kembali, pemerintah tidak akan mengambil inisiatif untuk mengajukan revisi Undang-Undang Pers No. 40 Tahun 1999. Pemerintah menyerahkan perlu tidaknya revisi ini kepada kalangan pers sendiri. Ini karena yang paling mengetahui apakah UU Pers perlu direvisi atau tidak adalah dunia pers. Pemerintah sudah tidak zamannya lagi mencampuri urusan kebebasan pers. Ini karena pers kita sudah dewasa dan sudah mengetahui tentang dirinya sendiri.

Diakui, pers merupakan salah satu pilar demokrasi. Ideologi pers adalah freedom of the press. Tapi, di sana juga ada responsibility. Keduanya mirip dua sisi mata uang yang tidak bisa saling hilang; keduanya harus ada keharmonisan.

Ke depan, yang paling penting adalah semangat bahwa pers harus diberikan kebebasan (kemerdekaan) sebagaimana lazimnya, tapi bukan kebebasan mutlak. Harus ada keseimbangan dengan tanggung jawab. Tesis besarnya: informasi itu adalah kebutuhan dasar manusia. Hak tiap orang untuk mendapatkan informasi. Informasi ibarat oksigen, semua orang ingin menghirup oksigen yang bersih yang segar. Jangan sampai masyarakat menghirup oksigen yang terkontaminasi karena bisa membawa penyakit. Pemerintah tidak akan mengatur delik teknis. Kontrol itu ada di dalam pers sendiri. Tapi harus ada jaminan oksigen yang berupa informasi itu yang murni dan menyehatkan.

Yang perlu dibangun didalam memberi kemerdekaan terhadap pers adalah kesamaan pandang bahwa baik pemerintah, masyarakat dan pers punya komitmen yang sama bagaimana keutuhan bangsa ini tetap terjaga, mengisi kemerdekaan yang sudah diraih untuk meningkatkan kesejahteraan seluas-kuasnya kepada masyarakat.

Atas dasar itu, maka informasi yang disampaikan pers sedikitnya harus memiliki tiga peran: (1) peran untuk mengedukasi masyarakat; (2) memberdayakan masyarakat; dan (3) membangun nasionalisme atau disingkat dengan E2N (education, empowment and nasionalisme) (***)


(Sumber artikel: e-Indonesia Volume III/No.21 – 2007, Web Depkominfo, Sukemi)

Terkini